Vonis yang dijatuhkan kepada Harvey Moeis dalam kasus korupsi dan pencucian uang senilai Rp300 triliun menjadi cerminan nyata dari ironi penegakan hukum di Indonesia. Hukuman 6,5 tahun penjara, denda dan uang pengganti total Rp212 miliar, yang lebih ringan dari tuntutan jaksa sebesar 12 tahun penjara, justru menimbulkan pertanyaan besar: di mana letak rasa keadilan?

Angka fantastis yang menjadi kerugian negara ini, jika digunakan dengan benar, bisa mengubah wajah sektor kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Namun, vonis ringan yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi sebesar ini mencerminkan betapa murahnya keadilan di negeri ini. Hukuman khusus untuk koruptor seolah-olah menjadi “promo akhir tahun”, yang tidak hanya merugikan hati rakyat, tetapi juga meruntuhkan semangat pemberantasan korupsi yang sering digaungkan.
Ironisnya lagi, ini terjadi di era kepemimpinan Presiden Prabowo, yang menjadikan pemberantasan korupsi sebagai salah satu janji utama. Alih-alih memperkuat kepercayaan publik, keputusan ini malah menyertakan upaya pemberantasan korupsi dan memberi pesan buruk: hukum bisa dilunakkan bagi mereka yang memiliki kekuatan dan koneksi.
Masyarakat dapat bertanya: apakah korupsi sebesar ini mendapat hukuman ringan, apa yang menghalangi para koruptor lain untuk terus melakukan kejahatannya? Jika hukum tidak ditegakkan secara tegas dan konsisten, semangat pemberantasan korupsi hanya akan menjadi slogan kosong tanpa arti. Hukum seharusnya menegakkan keadilan, bukan melayani kepentingan tertentu.(28/12/2024)
Drs. Nandang Suherman, S.H, M.Si. Pengamat Politik & Intelijen