Apa Itu Kuasa Mutlak?

Kuasa mutlak adalah kuasa yang tidak bisa dicabut sepihak, atau kuasa yang tidak bisa dicabut oleh pemberi kuasa meskipun di dalam undang-undang pencabutan sepihak adalah sikap yang dibenarkan.

Untuk menghindari ketidakpastian pemberian kuasa, maka terdapat opsi bahwa pemberi kuasa boleh mencabut kuasanya secara sepihak.

Di dalam lalu lintas pergaulan hukum telah memperkenalkan dan membenarkan pemberian kuasa jenis ini.

Klausul

Perjanjian jenis ini biasanya diberi judul “Kuasa Mutlak” yang di dalamnya memuat klausul:

  • pemberi kuasa tidak dapat mencabut kembali kuasa yang diberikan kepada penerima kuasa;
  • meninggalnya pemberi kuasa tidak mengakhiri perjanjian pemberi kuasa (bisa dialihkan kepada ahli warisnya).

Kedua bentuk klausul di atas merupakan ciri-ciri terciptanya persetujuan kuasa mutlak. Sebab, di dalam kesepakatannya pihak pemberi kuasa tidak bisa mencabut/mengakhiri kuasanya secara sepihak.

Banyak pihak yang menganggap bahwa kuasa mutlak dilarang karena bertentangan dengan hukum.

Apakah Kuasa Ini Bertentangan?

Apabila kita cermati lagi, klausul mutlak sebenarnya bertentangan dengan ketentuan Pasal 1813 KUH Perdata.

Akan tetapi, pendapat itu dikesampingkan dalam praktik peradilan yang membenarkan persetujuan yang demikian.

Bolehnya membuat kuasa mutlak bertitik tolak dari prinsip kebebasan kontrak (freedom of contract) yang digariskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata.

Prinsip ini menegaskan bahwa para pihak bebas mengatur kesepakatan yang mereka kehendaki, sepanjang tidak bertentangan dengan Pasal 1337 KUH Perdata, yaitu kesepakatan itu tidak mengandung hal yang dilarang (prohibition) oleh undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum (morals and public order).

Keberadaan kuasa mutlak ini berkiblat pada yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 3604 K/pdt/1985. Putusan ini merupakan penegasan ulang mengenai pertimbangan hukum yang dikemukakan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 731 K/Sip/1975 yang di dalamnya menyebutkan:

surat kuasa mutlak tidak memiliki aturan dalam KUH Perdata. Akan tetapi yurisprudensi mengakui keberadaannya sebagai suatu syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan (bestendig gebruikelijk beding) atau disebut juga perpetual and usual or customary condition;

  • Putusan Mahkamah Agung No. 731 K/Sip/1975 telah menegaskan mengenai ketentuan Pasal 1813, yaitu jika para pihak dalam perjanjian menghendaki, maka dapat disepakati agar memberikan kuasa tidak dapat dicabut kembali (irrevocable, onherroeplijk)
  • begitu juga meninggalnya pemberi kuasa dikaitkan dengan surat kuasa mutlak, telah diterima penerapannya di Indonesia sebagai sesuatu yang telah bestendig (abadi), sehingga dianggap tidak bertentangan dengan Pasal 1339 dan Pasal 1347 KUH Perdata.

Kuasa Mutlak dalam Jual-beli Tanah

Akan tetapi, perlu diingat bahwa larangan yang dimuat dalam Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982. Notaris dan PPAT dilarang memberi surat kuasa mutlak dalam transaksi jual beli tanah.

Pemilik tanah dilarang memberi kuasa mutlak kepada penerima kuasa untuk menjual tanah miliknya. Alasan larangan ini dijelaskan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2584 K/Pdt/1988 yang berbunyi:

Surat kuasa mutlak, mengenai jual beli tanah, tidak dapat dibenarkan karena dalam praktik sering disalahgunakan untuk menyelundupkan jual beli tanah.

Itulah sedikit kajian mengenai kuasa mutlak. Semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat.

Tinggalkan komentar